Aroma darah
segar menyebar dengan cepat memenuhi udara. Puluhan tubuh terkapar tak berdaya,
tak lagi bernyawa. Mereka adalah keluarga Ruzy yang terkenal sebagai keturunan
ksatria. Sebuah keanehan besar jika ada yang bisa membantai Airiho Ruzy,
pemimpin klan yang terkenal tangguh beserta keluarga dan para pengikutnya.
Seorang
gadis cantik berdiri di hadapan Airiho. Matanya menatap dengan tajam, mata
penuh dendam. Wajah dan pakaiannya penuh dengan darah. Sebilah pedang teracung
di tangannya. Tak lama kemudian ia mencium pedang itu dan menyarungkannya.
Pandangannya beralih kepada seorang lelaki paruh baya, pengikut setianya.
“Putra
sulungnya tidak di sini. Airiho mengirimnya ke ibukota sejak kecil. Apa yang
harus kita lakukan, Nona?”
“Ibukota?
Ia bekerja di kerajaan?”
“Sepertinya,
Nona. Mungkin ia bekerja di kemiliteran kerajaan.”
“Aku akan
mencarinya dan kemudian menantangnya bertarung. Seperti ayahnya, ia akan mati
di tanganku.” Jawab gadis itu sambil menatap tangannya yang berlumuran darah. “Airiho
memulai dendam ini kembali, maka aku akan menyelesaikannya.”
Lalu ia
berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Ia melangkah
menyusuri jalanan kota. Matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya. Tak
satupun orang yang tak tertarik menatap parasnya yang elok dan tubuhnya yang
indah. Namun mereka akan tertunduk seakan kekuatan mereka terserap ketika
melihat tatapannya. Apalagi pedang panjang menggantung di punggungnya. Tidak
sedikit yang tahu kalau pengguna pedang sepanjang itu pasti memiliki ilmu
pedang tingkat tinggi.
Gadis itu
adalah Sanina, keturunan terakhir klan Idaga. Semua orang tahu kalau klan Ruzy
dan Idaga telah berseteru sejak berabad-abad yang lalu. Mereka menjadi musuh
besar. saling serang dengan cara apapun. Tanpa peraturan tertulis,
keturunan-keturunan mereka memiliki tanggungjawab penting untuk menghancurkan musuh
mereka. Lambat laun keturunan masing-masing klan semakin mengerucut hingga
tinggal masing-masing satu keluarga, Airiho Ruzy dan Bazeil Idaga, ayah Sanina.
Mengingat tak
ada lagi keturunan lain, masing-masing dari mereka setuju tanpa sepakat untuk
mengurangi kadar perseteruan mereka. Tak pernah lagi terjadi pembunuhan antar
keturunan klan. Namun dendam masih membara di antara mereka. Pemeliharaan
tradisi saling serang tergantikan oleh para pengikut mereka. Sayang, beberapa
tahun yang lalu terjadi insiden yang menghilangkan nyawa Bazeil dan seluruh
anggota keluarga Sanina lainnya.
Sanina
menatap ke arah sekelompok tentara kerajaan yang sedang membuat keributan di
sebuah kedai. Entah apa yang merasukinya, tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan
menyerang para tentara itu. Sekejap saja, hanya sekejap, ia telah membunuh
hampir semuanya, kecuali hanya seorang yang sudah tak berdaya. Tentara itu
ketakutan dan mengacung-acungkan pedang patahnya dengan gemetar.
“Aku hanya
ingin tahu, di mana orang yang bermarga Ruzy bertugas.”
“A, aku tak
tahu. Ta, ta, tak ada nama seperti itu di, di, di kesatuan manapun.” Jawab
tentara itu.
“Bohong! Ia
adalah anak Ksatria Airiho Ruzy. Kau tak mungkin tak kenal!” Bentak Sanina
seraya mengangkat pedangnya.
“Su,
sungguh, a, a, aku ...”
“No, Nona,
jika yang Nona maksud adalah Aleon Ruzy, mungkin hamba bisa memberitahu
keberadaannya.” Kata pemilik kedai. Sanina menebas leher sang prajurit dan mengacungkan pedangnya pada pemilik kedai tadi.
Kemudian Sanina
berjalan lemas meninggalkan kedai setelah mendengar informasi dari sang pemilik kedai. Langkahnya menuntun ia ke suatu tempat yang
berbeda dari perkiraannya, bukan istana atau barak tentara. Ia menuju sebuah
bukit bebatuan di pinggir kota. Sepertinya masih banyak lagi fakta di depannya yang tidak sesuai dengan bayangannya.
“Ada perlu
apa, Nona?” Tanya sebuah suara ramah.
Gadis
pendekar itu hanya melongo saja karena masih terkejut melihat pemandangan di
depannya. Ada banyak lelaki yang sedang mengambil batu-batu dari bukit itu. Ia
mendengar bahwa kerajaan sedang membangun sebuah candi yang besar untuk
menghormati dewa. Batu-batu tersebut akan digunakan untuk bahan bangunan atau
bahan patung dan arca.
“Aku
mencari seseorang bernama Aleon, Aleon Ruzy.”
“Oh, anak
itu. Aleon!” Pekik lelaki tersebut. Kemudian tidak terlalu jauh dari sana
terdengar jawaban lelaki yang lain. “Ada yang mencarimu. Cepat kemari.”
Sanina
melihat seorang lelaki muda berlari ke arahnya. Wajahnya tampan dan bersih,
namun tidak menunjukkan kesan menyeramkan sedikitpun. Bahkan terlalu lembut.
Perawakannya juga tidak kekar, melainkan sangat kurus untuk ukuran seorang
lelaki. Sanina menatap tangannya yang sedang memegang palu, genggaman yang
kokoh namun bukan genggaman ahli pedang. Hatinya bertanya, apakah ia anak
Airiho Ruzy, pendekar pedang terkenal dari klan yang mengaku sebagai keturunan
dewa perang. Yang anehnya, lelaki itu tak berbicara sepatah katapun dan juga
hanya menatap Sanina dengan sangat lekat, persis seperti yang Sanina lakukan.
“Siapa
namamu?” Tanya Aleon pelan, seakan tak terlalu berharap jawabannya.
Kemudian
tanah bergetar. Semua orang panik dan berhamburan meninggalkan tempat itu.
Hanya Sanina dan Aleon yang tak bergerak. Mereka masih menikmati kegiatan
saling menatap seakan ada topik penting yang sedang mereka diskusikan, melebihi
nyawa mereka.
Dan semua
gelap.
* *
*
“Hai, hai.
Halo. Sudah sadar?”
Terdengar
sebuah suara, seperti dari tempat yang sangat jauh. Sanina membuka mata,
mencoba mengintip sumber suara itu. Seorang perempuan tua sedang tersenyum
menatapnya. Segera Sanina terbangun dan duduk menjauhi perempuan itu. Kepalanya
masih pusing dan rasa nyeri menyerang sekujur tubuhnya.
“Pelan-pelan.
Lukanya masih belum sembuh.” Kata perempuan itu sambil merapikan baskom tempat
obat-obatan yang baru ia oleskan di tubuh Sanina. “Kau sudah tiga hari tak
sadarkan diri.”
Sanina
memperhatikan tubuhnya, banyak sekali luka yang melekat. Kepalanya pun terlilit
sebuah kain lembut. Kata perempuan tua tadi ia terkena reruntuhan batu di bukit
saat gempa kemarin. Memang gempa seperti itu kerap terjadi, tapi rentang waktu
antara dimulainya gempa dengan runtuh-runtuhnya batu biasanya agak lama
sehingga sangat jarang menelan korban.
“Kau bukan
orang sini, ya?” Tanya perempuan itu.
“Ya, aku
dari desa.”
“Oh,
begitu. Jadi apa tujuanmu ke ibukota?”
Tiba-tiba
Sanina tersentak. Ia teringat lagi lelaki yang dicarinya, yang telah ia temukan
sebelum akhirnya kecelakaan tadi terjadi. Dicarinya pedang yang selalu setia
menemaninya, tidak ada. Lalu ia memegang pundak perempuan tua itu dan
membentak.
“Di mana
lelaki itu? Di mana pedangku?” Katanya. Perempuan tua tersebut hanya tersenyum
tenang.
“Dia di
sana. Waktu itu dialah yang menolongmu.” Kata perempuan itu menunjuk ke luar
jendela.
Sanina
mengintip ke arah perempuan itu menunjuk. Ada seorang lelaki bertubuh kekar dan
berambut panjang membelakanginya. Ia sedang berlatih pedang. Genggaman tangan
dan pijakan kakinya sangat kokoh dan Sanina yakin kalau pria itu pasti memiliki
kemampuan bela diri yang tinggi. Kemudian ia berhenti berlatih dan mengikat
kembali rambutnya yang mulai keluar dari ikatan lama. Lalu ia berpaling dan
memandang Sanina.
“Dia ...”
“Tampan,
bukan? Dia menolongmu ketika kau dihantam reruntuhan batu. Mungkin jika tidak
ada dia, kau tak bernyawa lagi.”
“Tapi dia
...”
“Kau sudah
sadar? Bagaimana kondisimu?” Pria tampan itu telah berada di daun jendela dan
memandang Sanina dengan senyum manisnya.
“Aku hanya
ingin ...”
“Sudah,
tidak usah dipikirkan. Sudah menjadi tanggungjawabku untuk membantu orang yang
membutuhkan.”
“Dia adalah
seorang panglima kerajaan. Lihatlah, kau sangat beruntung karena sepertinya ia menyukaimu.”
Bisik sang perempuan tua. Kemudian ia dengan sengaja meninggalkan Sanina berdua
dengan lelaki itu.
“Sepertinya
ini takdir. Aku tahu para dewa telah merencanakan pertemuan kita. Seorang
perempuan lemah dan lelaki tampan yang menyelamatkannya.”
Kemudian
lelaki itu melanjutkan kata-katanya dengan penuh gombalan. Sanina mengernyitkan
dagunya. Ia mulai membaca jalan pembicaraan lelaki itu. Sepertinya ia sedang
digoda oleh sang panglima kerajaan.
“Maukah kau
menikah denganku?” Akhirnya lelaki itu mencapai poin utama seraya menyentuh
pundak Sanina dengan lembut. Sanina balas memegang telapak tangannya sambil
menatap dengan tajam.
“Di mana
Aleon? Di mana pedangku?” Lalu Sanina memelintir telapak tangan panglima itu.
“Arrrghhh
...”
Sang
panglima berteriak. Namun bukan hanya ia satu-satunya orang yang berteriak saat
itu. Di luar ada suara seorang lelaki yang sedang membuat keributan. Sanina
tidak terlalu memperhatikan keadaan di luar. Setelah menerjang panglima itu, ia
berkeliling rumah dan mencari pedangnya, pedang warisan klan Idaga yang bahkan
lebih berharga dari nyawanya.
“Ah, itu
dia.” Kata Sanina setelah melihat pedangnya terpampang di kotak kaca ruang
tamu.
Namun sial,
saat tangannya nyaris menyentuh kotak itu, ada tangan lain yang menggenggam
tangannya dan menariknya keluar dari tempat itu. Dan entah kenapa ia tidak bisa
melawan.
“Aleon?”
Nama itu terlontar pelan dari mulut Sanina.
“Wah,
ketahuan juga. Padahal sudah pakai penutup muka.” Kata lelaki yang menarik
Sanina. “Bukankah yang kau cari adalah aku? Aku tak mau karena aku kau terjebak
oleh Jukashu, panglima cabul itu. Oh ya, siapa namamu?”
Sanina tak
berkata apa-apa. Ia bingung ingin melakukan apa. Bahkan ketika para pengawal
Jukashu mengejar dan mencoba menyerang mereka, ia hanya mengikuti perintah
Aleon. Untung saja akhirnya mereka selamat.
* *
*
“Seorang
perempuan cantik? Tidak. Bahkan kambing betina pun enggan singgah ke tempat
hamba.” Jawab Aleon ketika dua orang prajurit menyamperi rumahnya.
“Benar
juga. Ya sudah kalau begitu.”
“Memangnya
apa yang sudah ia lakukan?”
“Gadis itu
membunuh beberapa prajurit tanpa alasan. Ia juga diduga yang menyerang Panglima
Jukashu.”
“Panglima
Jukashu? Memang kenapa dengannya hingga dihajar seorang perempuan?”
“Entahlah,
mungkin ia sedang sial, menggoda perempuan yang salah.”
Lalu
terjadi percakapan penuh tawa. Sanina memandang percakapan itu dari tempat
tersembunyi dengan keheranan. Tanpa sengaja tangannya menyentuh secarik kertas.
Betapa terkejutnya Sanina melihat gambar yang mirip dirinya dengan pose anggun
dan senyum manis di wajahnya. Setelah para prajurit itu pergi, Sanina segera
meletakkan kertas itu kembali.
“Mereka
adalah teman kecilku.” Kata Aleon. “Sepertinya kau membuat keributan yang
besar.”
“Aku harus
menjemput pedangku di rumah lelaki cabul itu.”
Pedang itu
ia butuhkan untuk membunuh Aleon, pedang yang telah membunuh banyak klan Ruzy.
“Ia pasti
akan mempersiapkan penjagaan luar biasa, khususnya atas pedang itu.” Aleon
menggenggam tangan Sanina. “Aku tahu pedang itu sangat berarti bagimu, tapi aku
takkan membiarkanmu kembali ke sana.”
“Ka, kau
...”
“Aku telah
mendengar kabar yang menimpa seluruh keluargaku.” Aleon duduk dan menundukkan
kepalanya. “Kita punya alasan yang sama besar untuk mendendam.”
Sanina terdiam.
Ia memandang Aleon lagi dengan penuh tanya. Apakah ia tahu identitas aslinya? Mengapa
setelah mengetahuinya ia masih bisa tenang, bahkan berusaha melindunginya?
Apakah ia juga mengharapkan pertarungan satu lawan satu seperti dirinya? Sanina
bersiap memasang kuda-kuda untuk mengantisipasi serangan mendadak.
“Ya, aku
...”
“Pak Dipa
sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri. Kesedihanku untuknya juga sama besarnya
dengan kesedihanku untuk kematian keluargaku.”
Sanina tak
mengerti dengan apa yang dikatakan Aleon. Namun ia tak berani bertanya. Ia
memilih diam dan membaca situasi. Kemudian Aleon mendekat dan memegang
tangannya. Tidak sampai di sana, ia menciumnya juga.
“Tapi untuk
apa kita hidup dengan dendam? Kapan hidup kita akan damai jika kita memelihara
amarah itu? Maafkan saja para pembunuh keluarga kita. Ada yang lebih penting
dari membalas dendam.”
“A,apa
itu?” Tanya Sanina.
“Mencintai
seseorang.”
Aleon
beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Sanina yang masih tertegun dengan
perkataan pria itu. Sebuah pukulan yang sangat telak diterima Sanina, tanpa ada
kontak fisik sedikitpun. Ia memandang Aleon dengan lekat. Pria itu berjalan ke
arah sebuah benda besar dan membuka kain penutupnya. Ternyata batu yang besar.
Ada alur-alur rapi seperti sketsa sebuah bentuk yang pernah ia lihat.
“Untuk apa
itu?”
“Oh, ini.
Aku ingin membuat patung untuk diikutkan dalam sayembara.”
“Sayembara?”
“Sayembara
untuk mencari pemahat dan pematung candi yang akan dibangun kerajaan. Bukan
hanya itu, yang lolos akan direkrut menjadi pematung kerajaan untuk
seterusnya.”
Sanina
memandang aneh Aleon. Jujur, dari lubuk hatinya ia kecewa menjumpai
satu-satunya musuh klannya jauh dari perkiraannya selama ini. Ia bukanlah orang
yang memiliki gairah bertarung. Bahkan hanya seorang lelaki lemah yang bahagia
dengan hidup tanpa tantangan.
“Kau ingin
sekali jadi pematung kerajaan?”
“Tentu
saja. Aku telah mengirim rancangan patungku dan kudengar menteri suka.” Jawab
Aleon. “Lagipula aku punya rahasia.”
“Apa?”
“Ini
rahasianya,” Kata Aleon sambil membuka sebuah ember besar dan mencedok cairan
dari dalamnya. “Sment. Dengan balutan cairan ini, permukaan patung akan menjadi
halus dan indah.”
“Benarkah?”
Sanina penasaran dan mencoba menyentuhnya.
“Jangan!”
Aleon menepis tangan Sanina dari Sment. “Jangan sentuh cairan ini. Jika
terkena, tanganmu akan mengeras selamanya seperti patung.
Sanina
menarik tangannya dari cairan itu. Aleon menutupnya dan mulai bekerja. Ada
pertanyaan besar yang bergelayutan di benak Sanina sekarang.
“Ayahmu
adalah pendekar besar. Bukankah seharusnya kau menjadi tentara kerajaan?”
“Ayahku
membebaskanku melakukan apa yang kuimpikan. Inilah mimpiku, menjadi pematung
kerajaan. Lagipula aku tak terlalu suka dengan ilmu bela diri.”
“Jadi
bagaimana dengan perseteruan dengan klan Idaga? Bagaimana jika orang-orang dari
klan Idaga menyerangmu?” Aleon hanya tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan
itu.
“Aku ingin
menjadi generasi pertama yang menghentikan perseteruan itu.”
“Bodoh, kau
mempermalukan leluhurmu.”
“Aku tak
berjuang untuk orang yang telah mati. Aku berjuang untuk orang-orang yang hidup
dan yang akan hidup setelahku. Aku ingin menjamin kedamaian bagi mereka.”
Kemudian
Aleon mulai memahat batu tersebut. Sanina hanya menatap pekerjaan Aleon sambil
merenungkan semua yang diucapkannya. Tangan lelaki itu sangat lincah seakan tak
ada kejanggalan. Lalu Sanina terperanjat demi dilihatnya bentuk itu semakin
jelas. Bentuk seorang gadis yang ada di kertas tadi, yang mirip dengannya.
Semakin lama batu itu semakin jelas membentuk rupa seperti dirinya. Namun Aleon
berhenti ketika hanya tinggal bibir yang belum terpahat. Ia berpaling dan
memandang wajah Sanina dengan lekat.
“Kenapa
berhenti?” Tanya Sanina.
“Aku belum
bisa. Mungkin dengan membayangkannya aku bisa membuat senyummu. Tapi aku yakin,
senyummu lebih indah dari yang bisa kubayangkan.”
Kata-kata
itu seperti sebuah sengatan untuk hati dan pikiran Sanina. Kata-kata yang
menyentuh hatinya. Tak ada seorangpun yang pernah mengatakan hal seperti itu
untuknya, pembunuh andal penerus klan Idaga yang terkenal itu. Apalagi
seseorang yang membuat sebuah patung indah dirinya tanpa diperintah.
“Tersenyumlah.
Bantu aku menyempurnakan patung ini.”
Sanina tak
menjawab. Ia melihat lelaki itu, lelaki yang beberapa hari yang lalu ingin
dibunuhnya, lelaki yang menatapnya lekat meski bebatuan runtuh, lelaki yang
nekat mendatangi rumah seorang panglima hanya untuk menjemputnya, lelaki yang lebih
memilih mengejar mimpi dibandingkan dengan menuntaskan dendam warisan, lelaki
yang begitu memperhatikannya hingga mampu menghasilkan sebuah patung.
Dan Sanina
pun tersenyum.
“Sempurna!”
Aleon
sangat semangat melihat pemandangan di depannya. Kemudian ia memainkan pemahatnya dan mulai membentuk sunggingan
senyum di patung itu, senyum yang menyempurnakan karyanya.
“Asal Nona
tahu, di patung inilah tersimpan semua impianku.” Kata Aleon penuh semangat.
Sanina hanya memandang. Ada pertanyaan yang tersimpan di hatinya.
“Aleon.”
“Ya.” Sahut
Aleon yang masih serius dengan pekerjaannya.
“Sanina.”
Aleon menatap heran, tak mengerti maksud perkataan gadis itu. “Bukankah kau
telah dua kali menanyakan namaku?”
“Oh, iya.”
Lelaki itu melanjutkan pekerjaannya. “Nama yang indah. Kalau tak salah artinya
...”
“Sanina
Idaga.”
Aleon
terkejut mendengar nama itu. Tangannya ceroboh memahat titik yang salah
sehingga retak, bahkan retak itu menjalar merusak patung. Aleon menjatuhkan
palunya dan kakinya lemas hingga ia berlutut ke tanah. Tangannya mengepal erat
dan kemudian direnggangkannya kembali.
“Sial.”
Aleon mengambil Sment dan melumurinya keseluruh patung. “Tak bisa sempurna
lagi.”
Sanina
memandang punggung pemuda itu. Ia sedih, sangat sedih mendapati kekecewaan yang
teraut di wajahnya. Seberapa kuatnya filosofi Aleon tentang dendam dan
pengampunan, pasti ia takkan kuat menghadapi pembunuh seluruh keluarganya.
Namun ia masih hebat untuk menutupinya.
“Kutukilah
aku. Akulah yang membunuh seluruh keluargamu. Dan tujuanku menemuimu hanyalah
untuk bertarung dan menentukan akhir dari perseteruan klan kita.”
Tak ada
jawaban. Aleon masih serius mengurus patungnya. Ia mengangkat patung tersebut
ke atas sebuah gerobak dan menutupinya dengan kain. Lalu setelah mengelap
tangannya, ia menghampiri Sanina.
“Aku
mengutuki patung itu, bukan kamu. Hhah, harusnya aku tahu kalau aku takkan bisa
” Aleon membelai pipi Sanina dan tersenyum. kemudian ia berjalan ke sebuah
kursi dan membaringkan tubuhnya. “Kalau memang itu yang kau butuhkan, silahkan
bunuh aku. Impianku telah hancur, hidup dan mati bagiku sama saja.”
Sanina tak
bergeming. Kemudian ia menangis dan tertunduk. Perhatiannya teralih pada sebuah
kertas yang tersentuh tangannya, sketsa patung rancangan Aleon. Ada tulisan di
belakang kertas tersebut. Tangisannya semakin kencang dan airmata yang keluar
semakin deras. Ia memeluk kertas itu, sangat erat.
* *
*
“Aleon!
Aleon!” Teriak seorang pria. “Di mana patungnya? Sayembara akan dimulai
sebentar lagi.”
“Di sana. Bawa
saja. Aku sudah meletakkannya di atas gerobak.” Kata Aleon menunjuk patung yang
tertutup kain. Ia masih nyenyak di pembaringannya.
“Kau tak
ikut?”
“Kepalaku
sakit.” Dan Aleon memejamkan matanya kembali.
Kemudian ia
teringat pada Sanina dan langsung terduduk. Diperiksanya sekujur tubuhnya, tak
ada luka. Sepertinya Sanina tidak jadi membunuhnya. Ia berjalan mencari gadis
itu. Tidak ada. Ke mana gadis itu pergi? Apakah ia akan kembali?
Matanya
terpaku pada secarik kertas, sketsa patungnya. Ia menatap gambar itu dan
membelainya. Bayangan kecantikan Sanina kembali lagi menghampirinya. Ia
teringat pada kalimat yang ia tulis di belakang gambar.
“Kau adalah mimpi dan cintaku. Aku akan
melakukan apa saja untuk mencapaimu. Sayang, kau telah pergi.”
Ia terkejut
melihat sebuah kalimat tertulis di bawahnya: Aku takkan membiarkanmu menyerah untuk menggapainya. “Siapa yang
menulis?”
Lalu
kakinya menendang bongkahan batu. Ia memandang lama, mencoba menganalisa bekas
bongkahan apa ini. Tiba-tiba wajahnya memucat dan segera berlari ke arah
alun-alun istana tempat berlangsungnya sayembara.
“Bodoh,
maksudku adalah kamu. Kamu!! Itu kamu!! Bukan yang lain, bukan patung.”
Aleon masih
berlari sambil mengoceh. Ia tak peduli dengan tatapan heran orang padanya. Ia
juga tak peduli kakinya terluka karena tak menggunakan alas kaki. Ia pun tak
peduli meski nafasnya hampir habis. Dan setelah tiba di alun-alun istana, ia
terjatuh. Airmatanya berderai dan ia menjerit. Walau keramaian menutupinya, ia
tetap menjerit.
“Sanina,
maksudku adalah kamu!”
Sebuah
patung gadis cantik berdiri di tengah keramaian dengan anggunnya, menarik
perhatian hampir semua yang ada di sana. Pujian demi pujian meluncur untuk
karya indah tersebut. Patung indah yang tanpa cacat dan halus karena lumuran
sment. Di bawahnya terpampang nama Aleon sebagai pembuat.
Sedihhhh..:(
BalasHapus