Welcome Myspace Comments

Rabu, 28 September 2011

Manusia-Manusia Baik

Aku adalah orang yang sadar bahwa berpikiran positif itu indah. Berpikiran positif membuat seseorang memahami kesalahan yang dilakukan orang lain, membongkar alasan-alasan yang menuntun orang itu melakukan kesalahan. Hal itu sebenarnya menarik. Seperti sekarang, aku ingin memandang para pelanggar peraturan lalu lintas secara positif. Bahkan aku berhasil mengelompokkan beberapa pelanggaran menurut alasan-alasan yang menuntun mereka melakukannya.
Misalnya berkendara yang berbahaya lainnya, termasuk mengebut dan atraksi jalan raya. Bagiku ini adalah pelanggaran terkeren dari semuanya. Mereka, maksudku para pelanggar, melakukannya dengan resiko yang besar dan terkadang dengan cara yang kusebut ‘bergaya’. Alasan mereka melanggar peraturan lalu lintas adalah demi seni atau sekedar menghibur. Untukku yang memiliki curricullum vitae sebagai pengemudi yang minim dengan tunggangan tetap berupa motor berpenyakitan dan tanpa rem tangan, pelanggaran itu merupakan sesuatu yang sangat harus dihindari. Memang, jika sedang mengejar dan dikejar sesuatu, terkadang kupaksa kan juga mengebut.
Lalu jenis pelanggaran berikutnya adalah masalah surat-surat wajib pengendara (misalnya STNK dan SIM, red), kepemilikan helm, kaca spion, dan sebagainya. Aku sangat yakin mereka tidak bersalah. Mungkin saja mereka selalu gagal memiliki uang lebih untuk memperlengkapi peraturan ini.
Dan yang terakhir, jenis pelanggaran yang tak perlu. Aku menyebutnya sebagai pelanggaran yang dikarenakan para pelanggar memiliki otak yang bodoh. Ingat, kebodohan bukanlah kesalahan, melainkan kodrat. Misalnya berjalan di jalur jalan yang salah, tidak atau salah menyalakan lampu sein, atau melanggar lampu lalu lintas. Mau tahu yang paling bodoh? Jika seseorang yang berhenti saat lampu lalu lintas di hadapannya sudah kuning. Ia menunggu sampai dilihatnya lampu lalu lintas di jalan sebelah kanannya baru saja merah, ia menjalankan kendaraannya meskipun lampu di depannya belum hijau. Yang lebih parah lagi? Ternyata di belakangnya ada mobil PATWAL. Keren!
Yup, itulah yang kualami pagi ini. Walhasil aku dijebloskan ke penjara dan dihukum 3 bulan! Becanda. Aku hanya dibawa ke pos polisi terdekat dengan SIM dan STNK ditahan bapak-bapak berseragam itu. dua orang, satu berjerawat dan satu lagi memiliki tahi lalat besar di wajahnya. Dan di tempat ini aku menemukan orang-orang baik yang mau membantu musuhnya.
Aku duduk termangu menyesali kesalahan super idiot yang telah kulakukan. Tak cukup menyesal, seperti orang kampung kebanyakan, aku mulai menghadirkan kambing-kambing berwarna hitam di otakku. Mulai dari Jessie yang entah kenapa memaksaku segera ke kampus, motor kurang asem yang tak mau mengingatkanku tentang lampu itu, pencetus ide lampu lalu lintas, sampai inisiatif terkutuk polisi-polisi itu untuk berpatroli di sana. Melalui kaca pos itu aku melihat seorang pemberontak hukum dengan wajah penuh ibanya berada di sarang penegak hukum. Intinya, aku adalah musuh dari bapak-bapak ini.
“Kamu tahu kan kalau tadi masih lampu merah?” Tanya polisi berjerawat. Aku mengangguk. “Lalu kenapa kamu langgar?”
“Habis, saya lihat lampu yang di sebelah kanan itu sudah merah, pak.” Harusnya jangan itu jawabanku. Mereka menertawakanku.
“Yang harus kamu lihat itu lampu di depanmu.” Bentak polisi bertahi lalat. Aku hanya menunduk.
“Hei, kamu sudah ambil minyak?” Tanya seorang polisi bermata bulat yang baru datang kepada polisi yang menginterogasiku.
“Rumahmu di mana?” Kusebutkan alamat rumahku
“Tinggal dengan siapa?”
“Sebenarnya sendiri.” Apa yang kujawab ini? Kembali terkuak kebodohanku.
“Sebenarnya sendiri, tapi ada cewek yang menemani kamu. Jadi kalian kumpul kebo, begitu?” Seorang pria berwajah gorila (tapi orang yang berwajah seperti itu biasanya ayah yang baik) yang baru nimbrung ikut bicara. Mereka menertawaiku. Aku pasrah saja ditertawakan.
“Ya sudah, SIM kamu saya tahan. Kamu datang ke pengadilan tanggal sepuluh bulan empat. Di sana kamu bayar denda. Bisa, kan? Wong rumahnya dekat, kok.” Kata seorang polisi yang lain.
Aih, tanggal sepuluh bulan empat? Bukankah itu hari Jumat Agung? Hari itu aku harus ke Gereja. Ah, hari papaku ulang tahun. Dan hari itu aku harus mengikuti sidang? Wajahku berkerut menambah kesan iba.
“Kenapa? Tidak bisa?” Seorang polisi yang duduk di sebelahku bertanya. Aku menjawabnya dengan anggukan. Lalu polisi yang menangkapku angkat bicara.
“Begini saja, karena kami kasihan sama kamu, kami wakilkan saja kamu sidang nanti. Kamu bayar dendanya saja.” Inilah kebaikan pertama yang kurasakan dari orang-orang itu. Satu masalahku telah selesai untuk menjumpai masalah yang lainnya.
“Berapa, pak?”
“Tujuh puluh ribu.” Aku melongo mendengarnya.
Kubuka dompet coklat lusuh jelek sobek dan bergelembung karena kertas-kertas tak jelas, itu dompetku. Dari sekian banyak penghuni yang memenuhinya, yang disebut uang hanya selembar uang lima puluh ribu dan empat lembar uang seribu. Uang itu diberikan bundaku tercinta sebagai uang jaga-jaga. Kutatap uang tersebut dengan mata sayu.
“Ya sudah, kasih saja lima puluh ribu.” Ternyata ada seorang polisi yang membaca kesusahanku. Tatapanku berpindah padanya, kini tidak sayu lagi.
Tiba-tiba mataku melekat pada Kanzen merah dengan spion nyaris lepas dan sekujur tubuh yang penuh lumpur bak baru melintasi trek off-road di luar sana, itu motorku. Meski sangat mencintainya, aku tak bisa menyangkal jika motor itu kerap bermasalah di tengah jalan. Biasanya aku menyiapkan beberapa puluh ribu rupiah untuk jaga-jaga. Tapi jika aku membayar denda, maka uangku tinggal empat ribu. Uang tambal ban saja sudah enam ribu.
“Pak, saya pinjam lima ribu, lah.” Aku memberanikan diri untuk mengemis pada para aparat negara itu. Meski masih cukup sedikit, tapi sepuluh persen dari uang yang akan kukeluarkan merupakan jumlah logis maksimal yang bisa kutawarkan.
“Lima ribu? Untuk apa itu?” Tanya seorang polisi terkejut melihat nyaliku.
“Untuk beli bensin, pak. Habis uang saya ini tinggal satu-satunya.”
“Hebat ya kamu minta uang sama polisi. Tak ada uang saya.” Jawab polisi itu sambil tersenyum, senyum yang sinis.
“Tolonglah, pak. Beramallah untuk mahasiswa. Nanti kalau anak bapak kuliah pasti dapat berkahnya.” Ya, aku tahu kalau itu adalah ceramah dan ramalan yang payah.
“Aku tahu bagaimana jadi mahasiswa. Beberapa tahun aku pernah kuliah, tapi tak pernah aku melanggar peraturan.” Kata si mata bulat membanggakan prestasinya yang sangat langka didapat dewasa ini.
“Maksud saya bukan melanggarnya, pak. Tapi kemiskinan mahasiswa ini.” Aku mengeles.
“Tak ada uang lima ribu. Inilah uang saya.” Polisi itu menunjukkan dompetnya. Hanya selembar uang seratus ribu. Aku mengarahkan pandangan ke polisi mata bulat.
“Saya juga tak ada duit. Gajian kemarin sudah kukasih semua ke orang rumah.” Katanya, tapi bukan padaku melainkan pada petugas tahi lalat. Aku beralih pada wajah gorila. Rasa optimis tumbuh  di dadaku.
“Pak, saya boleh pinjam uang bapak?” Tanyaku pelan dengan senyuman orang tertindas.
“Kurang ajar kali kau. Dia yang kau kasih duit, sama aku pula kau minjam duit.” Maksudnya ‘dia’ adalah pak tahi lalat. Habislah aku. Apakah aku harus pulang dengan tangan hampa? Ah, sudah kepalang. Aku kembali memaksa untuk meminjam uang dengan memasang wajah memelas, seperti salesmen yang sudah tiga bulan belum mendapatkan pembeli di hadapan seorang ibu.
Tapi aku tahu kalau mereka adalah orang baik, tidak seperti gambaran polisi yang ketika kecil membuatku lari terbirit-birit setiap kali melihat kantornya saja. Demi dilihatnya aku memelas dan belum membayar denda, hati mereka pun luluh. Meski berkali-kali menyarankan untuk mengikuti pengadilan bulan depan, akhirnya bapak tahi lalat memanggil temannya, si jerawat, yang ada di toilet.



“Woi, ada duitmu lima ribu? Kasihan dia.” Aku tersenyum mendengar jawaban ‘ya’ dari kamar kecil. Si jerawat yang kutaksir hanya beberapa tahun di atasku mengeluarkan dompetnya. Ada uang lima ribu dan beberapa lembar seribuan.
“Tambah seribu, pak.” Kataku nakal. Semua membentakku. Aku hanya tersenyum.
Setelah mendapat sedikit nasehat dari bapak-bapak itu, aku pulang dengan tidak kekurangan suatu apapun kecuali uang empat puluh lima ribu milik ibuku. Tapi aku sudah tak menyesal lagi. Aku mendapat pengalaman yang indah di sana. Jika selama ini aku hanya melihat keangkuhan dan ketegasan di balik seragam coklat itu, kini aku mengenal sisi lain mereka. Aku tak tahu, mungkin aparat seperti itu hanya ada di tempat ini, hanya mereka berempat, tak ada di tempat lain.
Di perjalanan aku merenung, mereka adalah penegak hukum dan aku adalah pelanggar hukum. Mengapa mereka membantuku? Bukankah itu artinya mereka juga mempermainkan hukum? Pertanyaan itu terjawab ketika aku melihat lelakon kami lainnya. Polisi adalah pelayan masyarakat. Mereka bekerja, bukan digaji, untuk membantu masyarakat yang masih banyak bodoh tentang peraturan yang berlaku. Sedangkan aku adalah masyarakat. Wajarlah jika mereka baik padaku.
Makanya dari dulu aku ogah jadi polisi. Sudah masuknya pakai serangkaian panjang tes dan tak jarang memakan biaya yang banyak, pekerjaannya beresiko tinggi, harus pindah-pindah tugas, tak boleh ‘nakal’ sedikit saja karena menjadi panutan masyarakat dan sering makan hati pula oleh masyarakat, serta yang lebih parah adalah gajinya tidak besar. Bagaimana dengan pak polisi yang menangkapku tadi? Waktu mereka habis untuk mewakiliku di persidangan, mau nombok dua puluh ribu untuk bayar dendaku, serta sibuk memikirkan uang lima ribu untuk bensinku. Kurang baik apa, toh?
Lampu lalu lintas di hadapanku baru saja merah. Aku berhenti dengan patuh, mungkin karena masih trauma. Padahal Jessie pasti telah menunggu lama di kampus dengan surat-surat yang ia buat untukku mengurus beasiswa. Aku teringat dengan nasehat pria-pria baik itu. Kalau tidak sedang membawa kendaraan yang menyala lampu sirenenya, jangan melanggar lampu merah lagi. Ya, untuk apa kita menjadi penjahat hanya karena tak sabar menunggu beberapa detik? Lalu aku memandang ke belakang. Tak ada siapapun.
Who care?!” Gumamku.
NGEEE…NG

                                                                                                Dumai, 21 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar