Hai, pemuja dongeng. Kembali saya me-repost kumpulan dongeng. Berikut daftar ceritanya:
- Anak Katak yang Sombong dan Anak Lembu
- Raja yang Bodoh
- Biji-Biji Burung Gereja
- Peri dan Hutan Berkabut
- Raja Telinga Keledai
- Raksasa Egois
- Dongeng Asal Mula Dua Belas Shio Binatang.
Semoga bisa menghibur, menjadi bahan referensi, atau untuk hal yang berguna. Selamat menikmati .
Anak Katak yang Sombong dan Anak
Lembu
Di tengah padang rumput yang sangat
luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh berpuluh-puluh katak. Diantara
katak-katak tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus, dia adalah anak
katak yang paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi
sangat sombong. Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat
mengalahkannya.
Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering
menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada teman-temannya yang lain.
Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini yang
menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai
teman bermain lagi.
Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang
rumput. Ketika itu juga ada seekor anak lembu yang sedang bermain di situ.
Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya untuk menyedot susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil
sesekali menyenggok rumput yang segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi
yang dijulurkan terkena tubuh si Kenthus.
"Huh, berani makhluk ini
mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah sambil coba menjauhi anak
lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk mengganggunya.
Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan Khentus
menjadi cemas dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.
Sambil terengah-engah, Kenthus sampai
di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan sangat capek, kawan-kawannya
nampak sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengah-engah, mukamu
juga kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya
cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu makhluk apa
itu, tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku."
Kata Kenthus..
Kakaknya yang baru tiba di situ
menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak, anak lembu
tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap
pagi."
"Tidak jahat? Kenapa kakak bisa
bilang seperti itu? Saya hampir-hampir ditelannya tadi," kata Kenthus.
"Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi hanya
rumput." Jelas kakaknya lagi.
"Saya tidak percaya kakak. Tadi,
aku dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya." Celah Kenthus. "Wahai
kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan mengembungkan diriku,"
Kata Kenthus dengan bangga.
" Lawan saja Kenthus! Kamu tentu
menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai.
"Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan
dapat menandingi lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya. Hentikan!" kata
Kakak Kenthus berulang kali tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat kakaknya.
Kenthus terus mengembungkan dirinya, karena dorongan dari teman-temannya.
Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi pelajaran pada Kenthus yang sombong
itu.
"Sedikit lagi Kenthus.
Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus. Setelah
perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas.
Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan
adiknya yang lemas, kakak Kenthus lalu membantu.
Mujurlah Kenthus tidak apa-apa. Dia sembuh seperti sedia kala tetapi
sikapnya telah banyak berubah. Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang sombong.
Raja Yang Bodoh
Dahulu kala,
ada seorang raja yang pesolek dan sangat suka mengenakan baju-baju baru. Dia
banyak menghabiskan waktu hanya untuk
memandangi dirinya sendiri di cermin, dan selalu ingin mengenakan baju-baju
baru di pagi, siang dan malam hari!!
Pada
suatu hari, datanglah dua orang penipu yang menyamar sebagai pembuat baju yang
hebat. Mereka mengaku bahwa mereka pandai menenun dan membuat baju dengan
kualitas yang sangat bagus, sampai-sampai kain yang mereka pakai untuk membuat
baju tidak akan terlihat, kecuali oleh orang-orang pintar.
Ketika raja
mendengar hal itu, dia sangat tertarik. “Itu bagus, aku bisa tahu siapa saja
yang bodoh dan siapa saja yang pintar di kerajaan ini.” Pikirnya. Raja
segera memerintah kedua orang itu untuk membuatkan baju baru untuk dirinya,
menggunakan bahan kain istimewa itu. Mereka diberi sebuah ruangan khusus di istana, beserta
benang-benang emas yang mereka minta. Kedua penipu itu menyembunyikan
benang-benang emas yang mereka terima, kemudian berpura-pura sedang bekerja
keras untuk membuat sebuah baju.
Beberapa
hari kemudian, raja yang tidak sabar mengutus menteri nya untuk menengok baju
istimewa yang sedang dibuat itu. Ketika menteri mengunjungi para penipu yang
menyamar itu, ia pun kebingungan. “Aku tidak melihat apa pun disini” pikirnya.
Akan tetapi menteri itu tidak mau mengakuinya karena tidak ingin dianggap
bodoh. Maka ia pun memuji kedua penipu itu dan mengatakan bahwa baju yang
mereka buat sangat indah. Setelah menteri keluar dari ruangan itu, kedua penipu
tertawa terbahak-bahak.
Tak lama
kemudian sang raja datang untuk melihat sendiri. Dia berusaha melihat keseluruh
ruangan, tapi ia tidak melihat apa pun. Namun, karena tidak ingin dianggap
bodoh, raja pun berpura-pura bisa melihat baju yang istimewa itu dan berkata,
“Baju yang sangat indah, aku tidak sabar ingin segera memakainya”
Keesokan
harinya adalah hari dimana sang raja
akan mengenakan baju barunya pada acara pawai keliling kota. Kedua penipu yang
menyamar telah berpamitan dan pergi dengan alasan akan membuatkan baju untuk
raja dari kerajaan-kerajaan lain. Tentu saja, mereka tidak lupa membawa
benang-benang emas yang telah mereka sembunyikan, beserta uang emas upah
membuat baju.
Saat raja
memakai baju barunya, ia tetap saja tidak bisa melihat baju itu, dan ia merasa
kedinginan. Tapi karena tidak ingin dibilang bodoh, raja pun berputar-putar di
depan cermin dan mengagumi baju barunya, walaupun ia tidak melihat apa-apa.
Semua pegawai kerajaan juga mengatakan bahwa baju baru itu sangat indah, karena
mereka juga tidak ingin dianggap bodoh.
Seluruh
rakyat telah mendengat bahwa raja akan mengenakan baju baru sang spesial hari
itu. Saat sang raja muncul, semuanya terkejut. Akan tetapi mereka juga telah
mendengar kabar bahwa baju baru yang spesial itu hanya dapat dilihat oleh orang
yang pintar saja, dan karena mereka tidak ingin dianggap bodoh, mereka pun
berseru-seru memuji sang raja.
Mendadak
terdengar suara anak kecil berteriak, “tetapi, dia kan tidak pakai baju, sang
raja telanjang!” Semua terdiam. Raja pun menyadari bahwa anak kecil itu
berkata jujur, dan dengan terburu-buru ia berjalan kembali ke istana.
Biji-biji Burung Gereja
Di suatu lembah yang subur, sekelompok binatang
hidup dengan aman dan nyaman. Mereka tidak pernah berkekurangan.
Lembah itu menyediakan semua yang dibutuhkan para
hewan. Sumber mata air yang segar, pohon-pohon yang selalu berbuah tanpa
mengenal musim. Semua hewan hidup dengan bahagia.
Suatu hari bertemulah seekor monyet dengan burung
gereja yang sedang mematuk-matuk di tanah.
“ Apa yang sedang kau lakukan burung Gereja ?” Tanya
Monyet.
Burung Gereja memandang Monyet dan berkata “ Aku
sedang mengumpulkan biji-bijian “
Mendengar jawaban Burung Gereja, Monyet tertawa
terbahak-bahak “Ha…ha..ha…., untuk apa kau mengumpulkan biji-biji itu, lihatlah
di selilingmu, begitu banyak buah-buahan yang bisa kau makan, kenapa kau malah
mengumpulkan sesuatu yang dibuang ?”
Tapi Burung Gereja tidak menghiraukan perkataan
Monyet dan tetap mengumpulkan biji buah-buahan kemudian membawanya ke atas
bukit.
Esok harinya, Monyet bertemu lagi dengan Burung
Gereja, kali ini Monyet membawa buah apel di tangannya
“ Hai Burung Gereja, kau sedang mencari biji-bijian
lagi ya ? pantas saja kau tidak bertambah besar, yang kau makan bijinya, bukan
buahnya…ha.. ha…ha… “ Ejek Monyet
Burung Gereja hanya diam dan terus mengumpulkan
biji- biji apel yang dibuang oleh Monyet.
Suatu hari turun hujan deras berhari-hari, lembah
itu tertutup oleh air, semua binatang mengungsi ke tempat yang lebih tinggi di
atas bukit.
Mereka kedinginan dan kelaparan. Ketika hujan
berhenti, mereka turun ke lembah untuk mencari makanan, tetapi semua pohon
tumbang tersapu air hujan, tidak ada lagi buah-buahan untuk dimakan.
“ Aku lapar, mengapa tidak ada sama sekali buah yang
bisa dimakan ?” rintih Monyet sambil melihat ke kanan dan ke kiri berharap
menemukan buah yang bisa dimakan.
Setelah berjalan menyusuri lembah, Monyet bertemu
lagi dengan Burung Gereja
“ Hai Burung Gereja, kau kan bisa terbang tinggi,
bisakah kau tunjukkan padaku dimana ada buah yang bisa ku makan ? aku lapar
sekali “ Tanya Monyet.
“ Mari, pergilah ke rumahku di atas bukit, kau akan
menemukan buah yang bisa kau makan “ Ajak Burung Gereja.
Karena tidak menemukan jalan lain lagi, Monyet
mengikuti Burung Gereja menuju ke atas bukit.
Betapa terkejutnya Monyet melihat halaman rumah
Burung Gereja penuh dengan pohon yang berbuah lebat, Pisang, Apel, Strawberry,
Mangga, dan banyak lagi yang lainnya.
“ Bagaimana bisa begitu banyak pohon buah tumbuh di
halaman rumahmu “ Tanya Monyet heran.
“ Sudah sejak lama aku mengumpulkan biji buah-buahan
dan menanamnya di halaman rumahku , aku menyiramnya dan membersihkan
rumput-rumput liar yang tumbuh, aku merawatnya setiap hari “ jawab Burung
Gereja.
“ Oooo…. Itulah sebabnya kenapa kau selalu
mengumpulkan biji buah-buhan yang dibuang. Kenapa aku tidak berpikir untuk
menanamnya sepertimu ya ?”
Burung Gereja juga memberi tahu hewan-hewan lain
untuk mengambil buah-buahan di halaman rumahnya. Sejak saat itu, setiap kali
mereka memakan buah, mereka menyisihkan biji-bijinya untuk ditanam kembali,
agar mereka tidak kelaparan lagi.
Pada zaman dahulu hiduplah seorang
petani sederhana bersama istrinya yang cantik. Petani itu selalu bekerja keras,
tetapi istrinya hanya bersolek dan tidak mempedulikan rumah tangganya. Mereka
tinggal di rumah yang sangat sederhana dan hidup dari hasil pertanian
sebagaimana layaknya keluarga petani.
Sang istri yang cantik itu tidak puas dengan keadaan mereka. Dia merasa, sudah
selayaknya jika suaminya berpenghasilan lebih besar supaya dia bisa merawat
kecantikannya. Untuk memenuhi tuntutan istrinya, petani itu bekerja lebih
keras. Namun, sekeras apa pun kerja si petani, dia tak mampu memenuhi tuntutan
istrinya. Selain minta dibelikan obat-obatan yang dapat menjaga kecantikanya,
istrinya juga suka minta dibelikan pakaian yang bagus-bagus --yang tentunya
sangat mahal.
“Bagaimana bisa kelihatan cantik kalau pakaianku buruk,” kata sang istri.
Karena hanya sibuk mengurusi penampilan, istri yang cantik itu tidak
memperhatikan kesehatannya. Dia jatuh sakit. Sakitnya makin parah hingga
akhirnya meninggal dunia. Suaminya begitu sedih. Sepanjang hari dia menangisi
istrinya yang kini terbujur tanpa daya. Karena tak ingin kehilangan, petani itu
tak mau mengubur tubuh istrinya yang amat dicintainya itu. Dia ingin
menghidupkan kembali istrinya.
Esok harinya suami yang malang itu menjual semua miliknya dan membeli sebuah
sampan. Dengan sampan itu dia membawa jasad istrinya menyusuri sungai menuju
tempat yang diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dewa tentu mau
menghidupkan kembali istriku, begitu pikirnya.
Meskipun tak tahu persis tempat persemayaman para dewa, petani itu terus
mengayuh sampannya. Dia mengayuh dan mengayuh tak kenal lelah. Suatu hari,
kabut tebal menghalangi pandangannya sehingga sampannya tersangkut. Ketika
kabut menguap, di hadapannya berdiri sebuah gunung yang amat tinggi, yang
puncaknya menembus awan. Di sinilah tempat tinggal para dewa, pikir Petani. Dia
lalu mendaki gunung itu sambil membawa jasad istrinya.
Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki tua.
“Kau pasti dewa penghuni kayangan ini,” seru si petani dengan gembira.
Dikatakannya maksud kedatangannya ke tempat itu.
Laki-laki tua itu tersenyum.
“Sungguh kau suami yang baik. Tapi, apa gunanya menghidupkan kembali istrimu?”
“Dia sangat berarti bagiku. Dialah yang membuat aku bersemangat. Maka
hidupkanlah dia kembali,” kata si petani.
Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya.
“Baiklah kalau begitu. Akan kuturuti permintaanmu. Sebagai balasan atas
kebaikan dan kerja kerasmu selama ini, aku akan memberimu rahasia bagaimana
cara menghidupkan kembali istrimu. Tusuk ujung jarimu, lalu percikkan tiga
tetes darah ke mulutnya. Niscaya dia akan hidup kembali. Jika setelah itu
istrimu macam-macam, ingatkan bahwa dia hidup dari tiga tetes darahmu.”
Petani itu segera melaksanakan pesan dewa itu.
Ajaib, istrinya
benar-benar hidup kembali.
Tanpa pikir panjang, suami yang bahagia itu pun membawa pulang istrinya. Tapi,
sang istri tahu, selain sampan yang dinaiki mereka, kini suaminya tak punya
apa-apa lagi. Lalu, dengan apa dia merawat kecantikannya?
Suatu hari, sampailah suami-istri itu di sebuah pelabuhan yang sangat ramai.
Petani turun dari sampan dan pergi ke pasar untuk membeli bekal perjalanan dan
meninggalkan istrinya sendirian di sampan. Kebetulan, di sebelah sampan mereka
bersandar sebuah perahu yang sangat indah milik seorang saudagar kaya yang
sedang singgah di tempat itu. Melihat kecantkan istri si petani, pemiliik
perahu itu jatuh cinta dan membujuk perempuan cantik itu untuk ikut bersamanya.
“Kalau kau mau ikut denganku, akan aku belikan apa saja yang kau minta,” kata
sang saudagar.
Sang istri petani tergoda. Dia lalu pergi dengan saudagar itu.
Pulang dari pasar Petani terkejut karena istrinya tak ada lagi di sampannya.
Dia mencari ke sana-kemari, tetapi sia-sia. Setahun kemudian, bertemulah dia
dengan istrinya, tetapi istrinya menolak kembali kepadanya. Petani lalu
teringat kepada dewa yang memberinya rahasia menghidupkan kembali istrinya.
“Sungguh kau tak tahu berterima kasih. Asal tahu saja, kau hidup kembali karena
minum tiga tetes darahku.”
Istrinya tertawa mengejek.
“Jadi, aku harus mengembalikan tiga tetes darahmu? Baiklah…”
Sang istri pun menusuk salah satu jarinya dengan maksud memberi tiga tetes
darahnya kepada suaminya. Namun, begitu tetes darah ketiga menitik dari
jarinya, wajahnya memucat, tubuhnya lemas, makin lemas, hingga akhirnya jatuh
tak berdaya. Mati.
Setelah mati, dia menjelma menjadi nyamuk. Sejak itu, setiap malam nyamuk
jelmaan wanita cantik itu berusaha menghisap darah manusia agar dapat kembali
ke ujudnya semula.
Di sebuah desa hiduplah
seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia senang sekali bermain di
tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk ke hutan.
Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan
pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun
dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.
Sheila selalu mengingat
pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah berkabut itu.
Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan sekantong kue,
permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat perbatasan
kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila
ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah berkabut itu. Namun ia takut.
Suatu kali, seperti biasa
Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk menikmati
bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia
mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila tak
menemukan siapa-siapa. “Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian
dapat makan kue bersamaku,” teriak Sheila penasaran.
Mendengar tawaran Sheila,
beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak tiga peri di
hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di punggungnya
ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka
menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan
bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop.
Ketiga peri itu kakak beradik.
Sejak saat itu Sheila dan
ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka saling
bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, “Pio, Plea, Plop.
Mengapa ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang
pernah kembali? Kalian tinggal di hutan sebelah mana?” tanya Sheila penuh ingin
tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga peri itu saling bertukar pandang.
Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila. Setelah berpikir
sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang hanya
diketahui para peri.
“Para peri tinggal di
balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar tak seorang
pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri
penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi
banyak-banyak. Jika ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami
segera membuatnya tersesat,” jelas Pio, Plea, Plop.
Sheila terkagum-kagum
mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila
berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. “Baiklah. Kami akan
mengusahakannya,” kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan
Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen
banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh ketiga temannya.
Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang
masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus
pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.
Daerah berkabut penuh
dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak sama.
Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang sama.
Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri
peri. Di sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk
jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka seperti
kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang
mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga… Semua tampak
riang gembira.
Sheila sangat senang. Ia
diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut mengetahui
Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji tak akan
memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka
bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran, bernyanyi,
bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar makanan.
Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.
Tiba-tiba ratu peri
datang. “Siapa itu?” tanyanya penuh selidik. “Ratu, dia adalah teman hamba dari
hutan utara,” jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan.
Ratu peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu
ia pergi. Sheila bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila
jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga palsunya copot. Ratu peri melihat
hal itu. Ia amat marah.
“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu, kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.
“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu, kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.
Sheila
dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun
ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau
lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos
dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu
peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila tentang
negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat
mengingatnya di dalam mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur
kesayangannya.
Raja Telinga Keledai
Raja Zanas memerintah dengan sewenang-wenang.
Kegemarannya menumpuk harta sebanyak mungkin yang diperolehnya dari pajak
rakyatnya. Raja Zanas selain tamak juga seorang raja yang sangat kikir. Rakyat
yang hidup sengsara tidak sekalipun pernah dipikirkannya. Anehnya raja yang
zalim itu mempunyai kegemaran mendengarkan musik.
Padahal kata orang-orang bijak musik dapat
memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang menyukainya akan mempunyai perasaan
yang lembut tetapi cerdas. Salah satu kegemaran Raja Zanas adalah mendengarkan
tiupan suling. Kebetulan di negerinya ada seorang peniup seruling yang sangat
pandai bernama Tarajan.
Raja Zanas sangat memanjakan Tarajan dan kerap
mengirim peniup seruling itu ke seluruh penjuru negeri bahkan ke luar
kerajaannya untuk berlomba. Tarajan selalu jadi juara pertama dan memperoleh
hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang karena hal itu Tarajan jadi sombong dan
congkak. Karena sombongnya Tarajan mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo.
Seorang Dewa bangsa Yunani yang sangat menguasai seni musik.
Tarajan mengusulkan pada Raja Zanas agar ia
dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu diterima dengan baik bahkan raja merasa
bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik dari kerajaan langit itu.
Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Justru Dewa itu ingin
memberi pelajaran pada Tarajan dan Raja Zanas yang berkelakuan tidak lazim.
“Seandainya aku kalah biarlah aku mengabdi pada
Raja Zanas seumur hidupku. Tetapi andaikan aku yang menang aku minta separuh
kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu” kata Dewa Apolo. Raja Zanas dan
Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan Apolo yang tampak masih
sangat muda itu.
Pada hari yang telah ditentukan pertandingan
dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus
sebagai penguasa seluruh khayangan ikut menyaksikan tanpa seorang pun yang
tahu. Sebagai penantang Tarajan dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu.
Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu segera meniup serulingnya.
Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan segera mengumandangkan
lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun seperti ombak. Lembut seperti angin
pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.
Semua yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu
hebatnya tiupan seruling Tarajan. Raja Zanas tertawa terbahak-bahak dan yakin
sekali peniup serulingnya akan keluar jadi pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang.
Diam bagaikan patung, tetapi bibirnya tersenyum. Pertanda kagum juga pada
permainan seruling Tarajan. Dan ketika usai sorak ssorai seperti membelah
angkasa. Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah.
Ketika giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu
mengangkat serulingnya dengan cantik sekali. Lembut bagaikan menimang bayi
suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan sebuah lagu, langit berpendar-pendar
antara siang dan malam. Rakyat yang menonton terhanyut dalam irama yang luar
biasa indah. Dengan mata terpejam semua menari dengan lembut sekali. Mereka pun
menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat
yang jumlahnya tidak terhitung itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang
sebelumnya tidak pernah mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.
Akhirnya Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan
Apolo sebagai pemenangnya. Dan meminta Raja Zanas seger memberikan separuh
kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi raja kikir itu menolakk hingga membuat Dewa
Zeus marah. “Selama kau tidak memberikan pada rakyat apa yang telah kau
janjikan, maka telingamu akan membesar setiap hari.” Kata Dewa Zeus.
Memang
benar. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin besar hingga sangat berat dan membuatnya
tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Jadilah ia raja bertelinga keledai.
Akhirnya Raja Zanas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan
berjanji tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya.
Raksasa Yang Egois
Dahulu kala, ada sebuah taman yang
sangat luas dan cantik, milik seorang raksasa. Taman itu sangat indah dengan
rumput yang hijau dan lembut, bunga-bunga yang cantik, dan puluhan pohon yang
berbuah lebat.
Setiap siang,
anak-anak masuk ke dalam taman itu untuk bermain dan mendengarkan burung-burung
berkicau merdu dari pohon-pohon.
Raksasa sedang
pergi selama 5 tahun mengunjungi keluarganya di negeri lain. Sekarang, dia
kembali ke rumahnya, sebuah rumah yang sangat besar dengan taman di depannya.
Saat tiba di taman, ia melihat anak-anak sedang bermain disana. Raksasa
lalu memarahi mereka, “Apa yang kalian lakukan disini? Pergi! Ini taman
milikku!” Anak-anak yang ketakutan berlari meninggalkan taman
itu.
Karena tidak ingin
ada orang lain yang ikut menikmati keindahan tamannya lagi, raksasa lalu
membangun tembok yang tinggi mengelilingi taman itu, dan memadang tulisan “Yang
masuk tanpa ijin akan dihukum!” Anak-anak kehilangan taman itu. Sesekali
mereka memanjat dan melongok melewati tembok yang tinggi, memandangi taman itu
dan dengan sedihnya membicarakan permainan-permainan yang dulu mereka lakukan
disana.
Hari demi hari berlalu. Bunga-bunga di
taman itu tidak lagi bermekaran. Burung-burung tidak lagi berkicau dan
pohon-pohon berhenti berbuah. Rumput dan daun-daun yang dulunya subur dan hijau
kini menjadi kering dan berwarna coklat. Raksasa tidak mengerti mengapa
taman miliknya menjadi tidak indah lagi.
Pada suatu pagi, raksasa mendengar
suara musik yang mengalun. Ternyata itu adalah suara kicauan burung di luar
jendelanya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengar kicauan burung
yang indah seperti itu.
Raksasa mendekat ke jendela dan
mendengarkan kicauan burung itu dengan sedih. “Apa yang terjadi dengan tamanku?
Aku berharap tamanku bisa menjadi indah seperti dulu, dengan burung-burung yang
berkicau merdu seperti kamu.” kata raksasa kepada burung itu. Burung itu
terbang mendekati raksasa dan berkata “Tamanmu tidak akan sama lagi tanpa
kehadiran anak-anak itu. Tamanmu merindukan gelak tawa dan suara anak-anak yang
riang. Pohon, bunga-bunga, rumput, dan kami para burung menginginkan kehadiran
anak-anak yang menjadikan tempat ini kembali penuh keceriaan.”
Raksasa menyadari kesalahannya. Selama
ini ia terlalu egois, dan akibatnya ia hidup sendirian dan merasa
kesepian.
Raksasa pun mengambil palu besar dan
menghancurkan tembok yang mengelilingi tamannya. Dibuangnya tulisan peringatan
yang dipasangnya dulu, dan dipanggilnya anak-anak untuk bermain di taman.
Awalnya anak-anak merasa takut. Akan tetapi ketika mereka melihat wajah
raksasa yang sekarang menjadi ramah, mereka mengikutinya ke taman untuk bermain
disana. Lagipula, anak-anak itu juga rindu bermain di taman itu.
Taman milik raksasa itu pun kembali
penuh dengan anak-anak yang bermain gembira. Bunga-bunga pun kembali bermekaran
diantara rerumputan yang hijau. Daun-daun dan buah-buahan memenuhi pohon-pohon,
beserta burung-burung yang berkicau dengan merdu.
Raksasa berkata kepada anak-anak, “Sekarang, tamanku adalah taman milik
kalian juga.” Sekarang raksasa tidak hanya memiliki sebuah taman yang
indah, tetapi ia juga memiliki banyak teman-teman kecil yang ceria.
Dongeng asal mula duabelas shio
binatang
Pada zaman dahulu kala, hiduplah
seorang dewa. Pada tanggal 31 Desember pagi sebelum tahun baru, Sang Dewa
menulis surat kepada binatang2 diseluruh negeri. Angin lalu menyebarkan
surat-surat itu ke seluruh negeri.
Dalam sekejap, para binatang menerima
surat2 itu, yang isinya seperti ini:
"Besok pagi di Tahun Baru, aku
akan memilih binatang yang paling dahulu datang kesini, dari nomor satu sampai
dengan nomor duabelas. Lalu, setiap tahun aku akan mengangkat satu-persatu dari
mereka sebagai Jenderal berdasarkan urutan". Tertanda, Dewa.
Para bintang sangat bersemangat dan
tertarik dengan hal itu. Mereka sangat ingin menjadi Jenderal. Tetapi, ada
seekor binatang yang tidak membaca surat semacam ini, yaitu Kucing yang suka
bersantai dan tidur. Ia hanya mendengar berita ini dari Tikus. Tikus yang licik
menipunya dan memberitahu bahwa mereka harus berkumpul di tempat Dewa lusa
tanggal 2 Januari, padahal seharusnya mereka berkumpul besok pagi tanggal 1
Januari.
Semua binatang bersemangat dan
memikirkan tentang kemenangan, dan mereka semua tidur cepat. Hanya Sapi yang
langsung berangkat malam itu juga, karena ia sadar bahwa ia hanya dapat
berjalan lambat. Tikus yang licik melihatnya lalu meloncat dan menumpang di
punggung Sapi, tapi Sapi tidak menyadari hal itu.
Pagi harinya, saat hari masih gelap, Anjing,
Monyet, Babi Hutan, Harimau, Naga, Ular, Kelinci, Ayam, Domba dan Kuda semuanya
berangkat berlari menuju ketempat Sang Dewa.
Saat matahari mulai terbit, yang
pertama kali sampai di tampat tinggal Dewa adalah...Sapi. Tapi kemudian Tikus
melompat kedepan dan mendarat tepat dihadapan Dewa. Maka Tikus pun menjadi yang
pertama.
Selamat Tahun Baru Dewa...kata Tikus
kepada Dewa.
Sapi pun menangis karena kecewa menjadi
urutan ke dua.
Di belakang mereka, tibalah Harimau,
Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan datang
berurutan. Dengan demikian mereka ditetapkan sebagai pemenang satu sampai
dengan duabelas sesuai dengan urutan kedatangannya.
Duabelas ekor binatang ini kemudian
disebut dengan 12 Shio Bintang.
Para binatang itu merayakan kemenangan
dan berpesta pora sambil mengelilingi Sang Dewa. Lalu, kucing datang dengan
wajah yang sangat marah. Ia mencari Tikus yang telah menipunya sehingga ia
datang terlambat. Kucing pun berlari mengejar Tikus kesana kemari.
Sejak itu mulailah era Duabelas Shio
Binatang, dimulai dari yang pertama tahun Tikus, lalu Sapi, kemudian Harimau,
Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan.
Kucing yang tidak
berhasil masuk kedalam Dua belas Shio Binatang sampai sekarang masih mengejar
Tikus kesana kemari karena telah ditipu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar