Welcome Myspace Comments

Selasa, 27 September 2011

Upil



Udara di sekitar kita, sadar atau tidak, mengandung partikel-partikel tak berguna seperti debu yang bukan karena kebodohannya ikut terhisap manusia bersama oksigen. Partikel-partikel tersebut berbahaya jika masuk ke paru-paru. Untungnya Tuhan kita MahaCerdas sehingga Ia terpikir akan hal itu. Maka Beliau hias hidung kita dengan bulu-bulu. Dengan demikian semua oksigen yang masuk ke sistem pernafasan akan disaring dari benda-benda yang keras bagi paru-paru. Konsekuensinya, filtering itu meninggalkan kotoran di hidung. Aku lebih suka menyebutnya dengan panggilan yang vulgar (kampungan, red), yaitu upil.
Bagiku benda yang disebut terakhir ini sangatlah jahat. Benda ini kecil namun bisa menjatuhkan kepercayaan diri seseorang jika ia melongok keluar dari lubang hidung tanpa sepengetahuan tuannya. Ketika SMP aku pernah menyukai seorang gadis yang sangat cantik. Siang malam wajahnya selalu menghantui benakku. Suatu ketika aku memberanikan diri untuk menyatakan cintaku padanya. Belum lagi ia menyadari kedatanganku, aku langsung berlari menjauhinya. Karena saat itu ia sedang mengupil.
Dan sejak saat itu aku tak berani untuk mengatakan dirinya cantik, meski pada diriku sendiri.

*       *       *
Aku kenal orang itu sejak umur lima tahun. Saat itu kami masih menjadi warga sebuah kampung kecil di pulau Sumatra. Namun baru enam tahun yang lalu aku bekerja untuknya. Bapakku yang menyuruhku mendatanginya setamat aku dari bangku SMEA. Dan dengan jalan berbau kolusi, aku diterima di perusahaannya pada bagian keuangan. Untuk diketahui, perusahaannya adalah pengelolaan parkir di beberapa situs umum yang bekerja sama dengan dinas perhubungan. Dan ayahku, seperti orang kampung lainnya, menyangka perusahaannya adalah dinas itu.
Posisiku meningkat menjadi asisten pribadinya sejak dua setengah tahun yang lalu, tepatnya ketika ia terpilih sebagai calon anggota legislatif (Caleg) sebuah partai baru yang akan bertarung pada Pemilu ini. Mungkin karena ia kenal bapakku atau memang aku adalah manusia yang paling penurut dan memiliki pergaulan yang luas di antara karyawan-karyawannya yang lain. Entahlah.
Aku kenal orang itu. Tubuh gempal dan kumis tebal menjadi hal yang pertama kali tertangkap setiap oleh setiap orang yang melihatnya. Jika lemak yang berlebihan itu sudah lama melekat di tubuhnya. Namun kumis itu sepertinya mulai ia rawat sejak pergi merantau. Sebab ada yang pernah mengatakan padanya bahwa kumis adalah lambang kebijaksanaan. Ketika di kampung dulu, saat ia belum serius memelihara kumis, entah mengapa aku selalu mempersonifikasikan dirinya dengan seekor binatang yang lucu, menggemaskan dan keren. Namanya Babi. Apalagi dulu ia terkenal jenaka sehingga menjadikan ia seorang pribadi yang menyenangkan. Sekarang kejenakaannya cenderung berbahaya. Pengaruh metropolitan, kata orang.
Kini bosku itu sedang mondar-mandir di ruang tamunya, seperti gosokan arang yang menjalari pakaian yang telah disirami air kanji. Aku hanya bisa sesekali mengintipnya dari balik Notebook yang sedari tadi kuutak-atik. Kami sedang sibuk mencari sebuah konsep.
“Sialan si Plagianto itu. Pasti ia mengintai kita. Padahal aku telah lelah memikirkan kata-kata itu. Dia asyik saja menjiplaknya.” Bentaknya. Aku hanya tersenyum.
Jika bisa, aku ingin tertawa. Bagaimana tidak, ada seorang manusia bodoh yang menambah dosanya dengan mengutuki orang karena hal sepele, bahkan terkesan konyol. Aku sudah mengatakan padanya bahwa persuasi berbau perubahan sudah sangat umum, tapi dia masih ngotot memakai kata-kata ‘Ingin berubah? Pilih Drs. Martotol Wijaya, S.T.’ di posternya. Ketika seorang caleg menggunakan kalimat ‘Bersama kita bisa melakukan perubahan’ yang menurutku lebih enak didengar, ia senewen.
Sebenarnya aku kasihan padanya.  Ia terlalu bernafsu dalam ajang pemilihan wakil rakyat periode depan. Banyak sekali uang yang ia keluarkan, ditambah lagi perannya yang semakin berkurang di perusahaannya membuat setiap karyawan seperti anak ayam kehilangan emaknya. Yang sedihnya, istri dan ketiga anaknya yang minggat ke kampung karena kesal melihat tingkahnya yang kelewatan, dilupakannya. Katanya, ‘Keluarga bisa dibuat kapan saja. Tapi kesempatan untuk menjadi wakil rakyat dengan syarat yang mudah, itu jarang terjadi.’. Pada saat itu wajahnya berubah menjadi sandsack di mataku.
Tapi aku tidak menyalahi hasratnya itu. Menjadi anggota legislatif adalah cita-cita yang waras. Aku pernah melewati kantor DPRD di kabupaten kampungku. Besarnya minta ampun, sampai ketika itu aku berharap mampu bekerja di sana meski hanya menjadi tukang sapu. Apalagi bila jadi anggota dewan. Gaji besar, martabat meninggi, belum lagi jika ada proyek yang lewat, kantornya raksasa, dapat mobil plat merah yang bikin polisi ragu mendekat jika melanggar peraturan, kadang studi banding ke luar negeri, dan kerjanya hanya sedikit. Itulah pemikiranku saat itu.
Meski tak semua pemikiranku itu benar, jadi wakil rakyat itu enak. Nah, peraturan pemilu ini sangat membantu banyak kaum untuk mencapai keenakan itu. Lihat saja, betapa membanjirnya caleg dewasa ini. Terlalu banyak partai bermunculan dan terlalu gampang seseorang ditetapkan menjadi caleg. Contohnya saja, tak ada lagi LitSus (Penelitian Khusus) seperti beberapa tahun yang lalu. Tak heran jika kita menemukan seorang caleg yang bahkan tak hapal isi Pancasila.
Berbicara tentang peraturan, yang berdasarkan suara terbanyak memungkinkan caleg dari urutan manapun bisa menang. Sekarang tidak lagi perang antar parpol, melainkan antar individu. Tak peduli meski mereka bernaung dalam partai yang sama. Ironisnya, banyak dari mereka yang sengaja memperkecil gambar partainya di poster agar porsi untuk gambar dirinya semakin besar.
Mereka saling pamer titel, prestasi, janji-janji (termasuk visi misi, motto, dan sebagainya), atau sekedar wajah. Baik itu dalam bentuk poster, selebaran, media massa, penyelenggaraan kegiatan untuk masyarakat, dan sebagainya sepeti menjadi ajang eksploitasi atas kecakapan dan kecakepan masing-masing dari mereka. Tujuannya hanya satu, meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak untuk mewakili setiap aspirasi mereka nantinya.
Tak bisa disangkal, selain jelek, bosku itu juga jahat dan bodoh (dua sifat yang dulu kupikir tak mungkin berkolaborasi). Ketiganya sangat berbahaya jika kelihatan di khayalak ramai. Di sinilah aku berperan. Dari mengurus selebaran, poster, sampai baliho selebar kamarku di kampung, aku yang mengurus. Akulah yang menentukan bagaimana pose sang caleg saat di foto, tulisan-tulisan yang terpampang, dan mengingatkan gelar S.T. di belakang nama bosku pada percetakan. Selain itu aku bertanggung jawab untuk memikirkan bagaimana citranya bisa bagus di mata masyarakat, citra seseorang yang selama ini dikenal sebagai penguasa beberapa lahan parkir dan suka kekerasan. Aku juga yang mendampingi sang caleg jika sedang berhadapan dengan orang-orang intelek, maksudnya biar beliau tidak gelagapan jika ditanya tentang sesuatu yang ‘berat-berat’.
Istilahnya, tugasku itu menjaga supaya upil beliau tidak kelihatan orang.
“Kamu pernah dengar caleg bernama Nurbuat Mrana? Kata orang dia itu cerdas dan kreatif. Ia mampu menarik simpati masyarakat. Tolong hubungi Bung Nur. Aku ingin tampil satu poster dengan dia. Masalah biaya, biar aku yang mengatur. Jika perlu, berikan dia juga uang, ya anggap saja ongkos sosialisasi, lah.” Kata bosku suatu ketika.
“Tapi dia bukan dari partai kita, Pak.” Kataku.
“Oh, tidak boleh, ya?” Aku menjawab kepolosan bosku itu dengan senyuman.
Dan sekali lagi, aku tak menyalahkan hal itu. Meski caleg di depanku ini adalah seorang bromocorah berpendidikan rendah, yang sialnya ia adalah bosku, aku minus kritik. Yang penting aku bisa makan. Mungkin banyak masyarakat yang juga enjoy dengan kondisi ini. Dengar saja omongan seorang tukang becak kepada temannya yang kucuri dengar ketika aku membeli cendol di pinggir jalan.
“Belasan tahun yang lalu, saya bisa pakai baju baru sekali empat bulan. Empat tahun yang lalu saya bisa pakai baju baru dua kali sebulan. Dan sekarang, bisa tiap hari.”
Ya, banyak masyarakat yang tak peduli pada siapa yang akan menjadi anggota legislatif nantinya. Yang mereka pedulikan adalah pemberian untuk mereka. Apalagi sejak ditetapkan peraturan anggota legislatif dipilih secara langsung, rakyat kena cipratan keroyalan para ‘peserta lomba’. Dari mulai sembako gratis, pengobatan gratis, internetan gratis, sampai sekedar kopi gratis. Jika caleg-caleg itu mau membuktikan kebaikan hati mereka, mengapa harus dilarang? Bukan juga kebodohan mereka jika ternyata banyak masyarakat yang menikmati pemberian lebih dari satu caleg, sedangkan pikirannya masih bingung mana pilihannya pada pemilu nanti.
Kembali ke bosku, Martotol si calon duda. Bulan ini beliau disibukkan dengan agenda kampanye yang padat. Tiba saatnya kampanye aktif. Bagiku inilah bagian tersulit dalam tugasku sebagai asisten caleg. Jika selama ini aku bisa menyembunyikan bosku di balik punggungku, kini saatnya dia secara utuh tampil di depan umum untuk ‘menjual’ dirinya. Ah, seperti PSK saja.
Semua sudah kuatur. Pakaian yang menurut para stylish bisa meningkatkan kewibawaan sudah kusiapkan. Posisi panggung yang baik dalam sudut pandang feng shui sudah kuturuti. Beberapa orang yang punya bakat mengumpulkan massa sudah kuhubungi. Pidato-pidato  sudah kukarang dengan susah payah dan penuh perjuangan. Pokoknya si bos terima siap saja. Dan semua sudah siap.
“Bung Marto! Bung Marto!” Teriak massa memanggil nama bosku yang sedang tersenyum menikmati elu-elu tersebut. Akulah yang mengusulkan ‘Bung Marto’ sebagai nama beken Martotol sang caleg. Hampir mirip dengan panggilan presiden pertama kita, lah.
Seorang artis dangdut ibukota super seksi baru saja menjamu kami dengan nyanyian standar plus goyangan maut. Massa puas, terutama para pria. Saatnya untuk pidato dari sang empunya hajatan. Beliau maju mendekati microphone ketika MC memanggil namanya. Aku melihat dengan jelas langkahnya yang gemetar, seperti seorang pria tua yang sejak muda duduk di kursi roda dan baru saja kena stroke menghampiri jenazah istrinya yang akan diberangkatkan ke pemakaman.
“Halo warga kota X yang dahsyat. Merdeka!” Hmm, tidak buruk preambule karanganku.
“Saya, Drs. Martotol Wijaya, S.T. sangat bahagia bisa berada di sini, di hadapan kalian dengan membawa harapan untuk masa depan kalian, masa depan bangsa ini.” Aku menaikkan daguku seraya ingin mengatakan bahwa itu karyaku.
“Bagaimana harapan untuk masa depan yang saya maksud? Yaitu kemiskinan lenyap.”
Semua bersorak. Aku tersenyum.
“Tidak ada lagi pengangguran.”
Semua bersorak lagi. Aku tetap tersenyum.
“Harga sembako menjadi murah.”
Lagi-lagi semua bersorak. Lagi-lagi aku tersenyum
“Biaya pengobatan dan pendidikan gratis”
Sekali lagi mereka bersorak. Ya, dan pipiku sepertinya sudah kram karena tersenyum.
“Setiap keluarga akan mendapat bantuan uang lima ratus ribu per bulan.”
Apa? Oh, Tuhan. Orang ini berimprovisasi. Kalimat terakhir tersebut bukanlah bagian dari pidato yang telah kususun.
Kudengar sorakan mereka melemah. Sebagian mulai merasakan keanehan. Aku menjaga senyumku tetap mengembang.
“Uang darimana?” Tanya beberapa orang.
Martotol panik. Di siniah aku harus tampil menyelamatkan muka jeleknya agar tidak hilang. Segera kutuliskan beberapa patah kalimat dan dengan gerakan yang tidak terlalu kentara, aku memberikan kertas tersebut padanya.
“Uang tersebut bukan sekedar pemberian semata, melainkan seperti pinjaman untuk usaha masyarakat. Barangsiapa dengan pinjaman tersebut berhasil mengembangkan usahanya, maka uang pinjaman dapat dikembalikan delapan puluh persen saja. Jika tidak, maka pinjaman dihentikan.”
Semua membulatkan mulut sambil mengangguk-angguk. Syukurlah alasan tersebut masih terdengar masuk akal di telinga mereka. Martotol mengacungkan jempolnya padaku. Ada sedikit rasa bangga karena telah menyelamatkan seseorang dari sebuah kehancuran. Dan perasaan itu menghilang sekejap setelah ‘Bung’ itu berimprovisasi lagi.
“Dan selain dihentikan, penerima pinjaman yang gagal akan dikenakan sanksi, yaitu mengganti pinjaman sebanyak dua puluh, tidak, tiga puluh persen.”
 Semua tercengang. Aku terperanjat.
“Adapun dana pinjaman yang akan kita berikan berasal dari pajak. Langkah awalnya adalah dengan menaikkan pajak bagi perusahaan asing yang berdiri di Indonesia ini. Ini adalah negeri kita dan saya melihat selama ini mereka sudah terlalu kenyang menikmati kekayaan negeri kita.”
Sebagian masih sanggup untuk berteriak, “Hidup Bung Marto”. Tapi bagi kebanyakan orang, kata-kata terakhir Martotol itu belum layak untuk diberi sambutan baik.
“Ya, saya merasa selama ini pembebanan pajak belum maksimal. Seharusnya udara yang digunakan harus dikenakan pajak. Jadi untuk penggunaan udara seperti penambal ban, penjual balon, dan sebagainya harus dikenakan pajak. Kalau perlu kita yang sehat ini juga harus dikenakan pajak untuk sekali nafas. Saya rasa tidaklah begitu berat jika kita lihat bagaimana mahalnya mereka di rumah sakit yang harus membayar mahal untuk bernafas dengan tabung oksigen.”
Tidak ada lagi terdengar kata-kata sorakan dukungan. Aku semakin panik. Kupanggil beliau dengan isyarat. Namun tiap beliau berpaling padaku, ia menyipitkan matanya sambil mengacungkan jempol untuk kemudian kembali berbicara. Martotol sudah terkena dosa yang paling berbahaya, yaitu menganggap dosanya adalah kebaikan.
“Dan untuk memperkaya kas kita, maka dalam waktu dua tahun ke depan saya berjanji akan membuat pajak untuk penggunaan sinar matahari secara berlebihan. Jadi bagi para ibu yang menjemur kain akan dikenakan PPSM, kepanjangan dari Pajak Penggunaan Sinar Matahari.”
Kata-kata kasar pun tak segan-segan dikeluarkan oleh beberapa orang. Namun mereka langsung bungkam ketika melihat otot-otot para algojo Martotol yang mukanya mirip Buto Ijo. Ya, jalan otakku buntu dan menyuruh preman-preman si tua ini untuk menertibkan massa adalah langkah gila namun paling realistis saat ini. Martotol dengan pidato ngelanturnya itu tidak bisa dihentikan.
“Hidup Bung Marto!” Teriakku diikuti seluruh anak buah dan simpatisan Martotol. Massa yang ketakutan pun ikut bersorak untuk raja preman itu.
Martotol tertawa melihat respon luar biasa para pendukung terhadap pidatonya. Ia pun mencabut mic dari mimbar dan berjalan lebih ke depan. Sambil mengacungkan tangan kirinya, ia berteriak lantang, “Semua itu akan terwujud jika aku menang dalam pemilihan nanti. Jadi, pilihlah Drs. Martotol Wijaya, S.T.”
Massa pun bersorak menyebut namanya. Sorakan dengan nada keterpaksaan. Dan lelaki jelek yang ada di hadapanku itu tertawa semakin kencang. Akupun mendekatinya, ia yang lagi-lagi mengacungkan jempol ke arahku.
Bagus, Marto, kau hancurkan sendiri masa depanmu. Kau telah menunjukkan borokmu sendiri di hadapan orang-orang yang seharusnya mencoblos namamu pada saat pemilihan nanti. Kau hancurkan cita-citaku yang ingin mendapatkan jabatan sebagai asisten wakil rakyat untuk batu loncatanku. Seharusnya kebodohanmu itu dapat tertutupi dengan kejeniusan-kejeniusanku. Tapi aku sangat menganggap remeh dengan kebodohanmu itu.
“Luar biasa. Penampilanku sungguh luar biasa. Pidatoku tadi sungguh mengena di hati mereka.”
Aku tersenyum. Lalu kudekatkan mulutku ke telinganya untuk merespon kata-katanya.
“Penampilan Bapak sungguh luar biasa. Ibaratnya, Bapak adalah wanita cantik yang melenggak-lenggok di depan lelaki yang sudah belasan tahun tidak tidur dengan istrinya. Tapi sayang, …”
“Sayang kenapa? Ada yang salah dengan pidatoku?”
Aku tersenyum, lalu kulihat wajahnya. Tiba-tiba air mukaku berubah menjadi jijik, jijik pada sesuatu yang sedang kulihat.
“Katakan, ada apa? Apa yang salah denganku?”
Aku semakin jijik melihat wajahnya, lalu mendadak muntah, tepat di atas jasnya. Semua orang terdiam melihat kejadian itu. Martotol memegang kedua pundakku sambil kembali menanyakan hal serupa. Dan tak sadar microphone sudah berada di dekat mulutku, di saat aku menjawab pertanyaannya.
“…upil Bapak kelihatan.”

                                                                                    Dumai, Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar